FOTO:Ketua Umum PP KAMMI, Zaky Ahmad Rivai (Dok KAMMI)
Jakarta (Utusan Rakyat) – Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) berharap Komnas HAM turun tangan perihal insiden di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri). KAMMI meminta Komnas HAM mengusut tuntas jika ditemukan adanya pelanggaran HAM.
“Kami sangat berharap Komnas HAM dapat mengusut tuntas jika ditemukan adanya pelanggaran HAM dalam kejadian di Rempang,” kata Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, Ammar Multazim, dalam keterangannya, Sabtu 9 September 2023.
Ammar menilai program strategis nasional (PSN) kerap menimbulkan konflik agraria. Bagi KAMMI, hal ini menjadi catatan buruk.
“Catatan dari kami khususnya PSN kerap menimbulkan konflik. Dan konflik semacam ini terjadi dimana-mana. Masyarakat-lah yang kerap menjadi korban. Ini tentu menjadi catatan buruk bagi Pemerintah,” ucap dia.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PP KAMMI Zaky Ahmad Riva’i berpendapat aparat bertindak represif. Dia mengutuk pengamanan
“Represifitas aparat yang terjadi di Pulau Rempang mesti dikutuk, apapun dalil pembenarannya. Tindakan semacam ini juga menambah daftar panjang aksi kekerasan aparat dalam kasus penanganan konflik agraria,” tegas Zaky.
Zaky meminta pimpinan TNI-Polri menindak secara internal jajarannya yang bertanggung jawab atas pengamanan ini. Zakky menuturkan pihaknya percaya pada Propam Polri dan Puspom TNI.
“Kejadian ini telah melampaui batas. Maka kami minta baik Polri maupun TNI dapat bertanggung jawab. Kita percayakan kasus ini dapat di tindak tegas di internal institusi, oleh Porpam Mabes Polri juga Danpuspom TNI,” ucap Zaky.
Menurut Zaky, jika perlu pihak pengamanan dapat mengambil langkah segera menarik aparat yang saat ini masih bersiaga. “Jangan sampai masyarakat Rempang merasa terintimidasi dengan kehadiran para aparat yang berjaga di sana. Sementara waktu, untuk meredam situasi baiknya menarik pasukan,” pungkas Zaky.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md meminta Polri berhati-hati menangani persoalan di Pulau Rempang. Mahfud meminta penanganan persoalan itu ditangani dengan humanis.
“Ya kita tetap, secara hukum, minta kepada aparat penegak hukum untuk menangani masalah kerumunan orang itu atau aksi unjuk rasa, atau yang menghalang-halangi eksekusi hak atas hukum itu, supaya ditangani dengan baik dan penuh kemanusiaan. Itu sudah ada standarnya, itu masalah tindakan pemerintah dan tindakan aparat supaya Polri hati-hati,” kata Mahfud Md usai menghadiri acara Konsolidasi Kebangsaan LPOI di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/9).
Mahfud mengatakan surat keputusan (SK) terkait hak guna usaha tanah Pulau Rempang itu sudah dikeluarkan sejak 2001. Menurutnya, ada kekeliruan yang dilakukan pemerintah yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Tapi masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu bahwa tanah itu, Rempang itu, sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan, untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang, itu tahun 2001, 2002,” terang Mahfud.
“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok. Sehingga pada tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada tahun 2001, 2002 secara sah,” imbuh Mahfud.
Mahfud kemudian menjelaskan kondisi saat investor masuk di 2022 lalu, di mana ternyata tanah yang didiamkan selama ini tersebut sudah ditempati pihak lain. Oleh sebab itu, Mahfud berpendapat kesalahan ada di pemerintah setempat dan KLHK.
“Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sutter-nya, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk,” jelas dia.
Dia mengatakan proses pengosongan tanah itulah yang menjadi sumber keributan hingga terjadi bentrokan. Dia menyebut sumber keributan dalam bentrokan itu bukan terkait hak guna tanah tersebut.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, kan, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi misalnya. Meskipun menurut hukum kan tidak boleh karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” ujar Mahfud.
Dia mengatakan hal yang perlu dibahas yakni uang kerohiman antara pemegang hak tanah, investor dan warga setempat. Dia mengatakan langkah itu bagus untuk dilakukan.
Dia mengatakan kasus bentrokan itu bukan terkait penggusuran melainkan pengosongan. Dia meminta penanganan persoalan itu tak menggunakan kekerasan.
“Nah itu supaya dipahami masyarakat supaya dipahami bahwa kasus itu bukan kasus penggusuran tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya. Tinggal soal kerohimannya berapa dan pemindahannya ke mana dan jangan sampai menggunakan kekerasan, kecuali dalam keadaan tertentu yang sudah gawat ya kan. Kan banyak juga orang sudah tidak bisa membela diri dari kepojokan terpaksa mungkin, mungkin gunakan gas, senjata, pentungan karet atau apa-apa,” tuturnya.
Penjelasan Polri
Polri membantah informasi yang beredar soal bentrokan di Pulau Rempang, Batam, yang menyebabkan sejumlah siswa pingsan dan bayi tewas karena gas air mata. Polri menegaskan informasi tersebut tidak benar.
“Terkait dengan informasi-informasi yang berkembang yang menyampaikan adanya beberapa siswa pingsan, bahkan ada yang menyebutkan ada seorang bayi meninggal dunia itu adalah tidak benar,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan di gedung Bareskrim Polri, Jumat (8/9).
Ramadhan mengatakan bentrokan petugas dengan warga itu tak memakan korban. “Jadi tidak ada korban, saya ulang tidak ada korban dalam peristiwa kemarin,” imbuh Ramadhan.
Dia lalu menyebut situasi di di Pulau Rempang, Batam, sudah kondusif. Pernyataan ini, lanjut Ramadhan, berdasarkan laporan Polda Kepulauan Riau (Kepri).
“Kami ingin klarifikasi terkait dengan informasi di media terkait kerusuhan. Jadi kami akan sampaikan bahwa kami mendapat informasi dari Polda Kepulauan Riau, situasi di lokasi sudah kondusif sejak kemarin,” terang Ramadhan.
Ramadhan tak menampik jika dikatakan aparat kepolisian memang menembakkan gas air mata. Gas yang tertiup angin, tutur Ramadhan, membuat warga sekitar mengalami gangguan penglihatan sementara.
“Yang ada, karena tindakan pengamanan oleh aparat kepolisian dengan menyemprotkan gas air mata, ketiup angin sehingga terjadi gangguan penglihatan untuk sementara,” jelas Ramadhan.
Namun Ramadhan menyampaikan Polda Kepri langsung menghadirkan tim kesehatan untuk membantu warga yang penglihatannya terdampak gas air mata. “Dan pihak Polda Kepri sudah membantu untuk membawa ke tim kesehatan,” tambah dia.
Atas kericuhan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Ramadhan menyebut ada 8 orang yang diamankan. Kedelapan orang tersebut, lanjut dia, kedapatan membawa batu, senjata tajam (sajam), dan benda-benda lainnya.
“Ada beberapa masyarakat yang diamankan ya, itu karena 8 orang yang diamankan tersebut karena membawa batu, membawa benda tajam, dan membawa benda-benda berbahaya lainnya,” ujar Ramadhan. (detikcom/ADD-01)