Gambar: Dua pemuda Nias menampilkan gerakan Sile Lamo Si Dua Amatonga dalam sebuah acara adat di Pekanbaru, sebagai bagian dari upaya melestarikan warisan budaya leluhur.
Pekanbaru (Utusan Rakyat) – Dalam upaya mempertahankan identitas budaya di tengah arus modernisasi, generasi muda Nias di seluruh Indonesia didorong untuk melestarikan seni bela diri tradisional Nias, Sile Nono Niha atau Sile Lamo Si Dua Amatonga. Momentum ini ditegaskan dalam acara pernikahan adat Nias di Pekanbaru, Riau, yang menyuguhkan pertunjukan silat Nias sebagai bagian inti prosesi budaya.
Acara Pernikahan Adat: Panggung Kebanggaan Budaya
Pada acara pernikahan tersebut, Sile Lamo Si Dua Amatonga ditampilkan secara khidmat oleh para tokoh dan guru silat terkemuka, termasuk:
- Ama Amu Hulu (Guru Besar Silat Nias)
- Ama Yurman Laia (Ahli Filosofi Gerakan)
- Marga Buulolo (Praktisi Senior)
- Marga Nduru (Pelestari Teknik Kuno)
Penampilan ini bukan sekadar atraksi, melainkan simbol komitmen untuk menjaga warisan leluhur. Samonaha Hulu, salah satu peraga sekaligus tokoh muda Nias, menegaskan:
“Ini adalah tradisi kami. Setiap acara adat, kami selalu menyertakan silat Nias. Bukan soal kejagoan fisik, tapi tentang kebanggaan menjadi orang Nias dan melestarikan identitas kami di mana pun berada.”
Mengenal Sile Lamo Si Dua Amatonga: Lebih dari Sekadar Bela Diri
Silat Nias memiliki keunikan filosofis dan teknis yang membedakannya dari seni bela diri lain:
- Makna Nama “Si Dua Amatonga”: Merujuk pada dua setengah prinsip dasar: keberanian (hadinia), kecerdikan (afatörö), dan keseimbangan (tölu-tölu) sebagai separuh jiwa yang menyempurnakan.
- Gerakan Simbolis: Setiap jurus meniru alam Nias, seperti aliran sungai (föna) dan kicau burung (turi), mencerminkan harmoni manusia dengan lingkungan.
- Fungsi Sosial: Historisnya, silat ini digunakan dalam ritual adat, penyambutan tamu agung, dan pelatihan mental pemuda sebelum berburu atau perang.
Ancaman Kepunahan dan Pentingnya Regenerasi
Data dari Lembaga Budaya Nias menyebutkan hanya tersisa 12 guru besar yang menguasai Sile Lamo Si Dua Amatonga secara utuh. Minimnya minat generasi muda dan dominasi budaya global berpotensi memutus mata rantai pengetahuan. Padahal, UNESCO telah mencatat silat tradisional Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia (2019), menjadikan pelestarian Sile Nono Niha sebagai tanggung jawab kolektif.
Pekanbaru: Bukti Nyata Solidaritas Diaspora Nias
Acara di Pekanbaru membuktikan bahwa diaspora Nias di perantauan tetap konsisten menjunjung budaya. Menurut Ama Yurman Laia:
“Di rantau, justru kami lebih gigih melestarikan tradisi. Silat adalah pengingat bahwa darah Nias mengalir dalam diri kami.”
Ajakan untuk Generasi Muda
Samonaha Hulu menambahkan:
“Kami mengajak pemuda Nias di mana saja: ikuti pelatihan, dokumentasikan gerakan, atau sekadar hadir di acara adat. Setiap tindakan kecil menyelamatkan warisan yang sudah ada sejak ribuan tahun!”
(SH)
Discussion about this post