Gambar: Tampak depan situs resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (www.mkri.id).
JAKARTA (Utusan Rakyat) – Setelah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan perubahan fundamental pada arsitektur pemilu Indonesia, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kini memasuki tahap awal perdebatan yang kompleks: merancang skema pemisahan antara pemilihan umum nasional dan daerah yang akan dimulai pada 2029. Sebuah langkah yang dipuji sebagai solusi atas kerumitan pemilu serentak 2024, namun kini membuka kotak pandora berisi tantangan teknis dan politis.
Para pejabat di Jakarta telah mulai menyuarakan pandangan awal mereka mengenai bagaimana memisahkan pemilihan presiden dan legislatif nasional dari pemilihan kepala daerah (pilkada), sebuah tugas monumental yang memerlukan revisi undang-undang besar. Inisiatif ini merupakan tindak lanjut langsung dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025, yang menyatakan bahwa model pemilu serentak lima kotak suara terbukti terlalu membebani penyelenggara dan pemilih, bahkan menyebabkan 894 petugas KPPS meninggal dunia karena kelelahan pada 2019.
“Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan kini tugas kami di eksekutif bersama legislatif adalah menerjemahkannya ke dalam kerangka hukum yang solid dan dapat diimplementasikan,” ujar Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dalam sebuah pernyataan kepada wartawan pekan ini. “Fokus utamanya adalah memastikan kualitas demokrasi meningkat, bukan sekadar melaksanakan ritual elektoral.”
Di jantung perdebatan ini terdapat beberapa skenario. Salah satu model yang mengemuka adalah menggelar pemilu nasional untuk memilih presiden, wakil presiden, dan anggota DPR serta DPD di awal tahun 2029. Sementara itu, pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota akan diselenggarakan serentak secara nasional dengan jeda minimal 2 tahun hingga maksimal 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Namun, setiap skenario membawa implikasi yang rumit. Para legislator di Komisi II DPR, yang membidangi urusan dalam negeri dan pemilu, menyoroti setidaknya dua poin krusial yang memerlukan kajian mendalam.
Pertama, sinkronisasi masa jabatan. Memisahkan jadwal pemilu berarti pemerintah harus mengatur ulang masa jabatan ratusan kepala daerah hasil Pilkada 2024 agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan yang terlalu lama, yang kemungkinan akan diisi oleh penjabat (Pj.) kepala daerah yang ditunjuk oleh pusat.
“Isu penjabat kepala daerah ini sangat sensitif,” kata Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, Ketua Komisi II DPR. “Kita harus merancang norma transisi yang adil dan konstitusional agar tidak mencederai otonomi daerah dan kehendak rakyat.”
Kedua, adalah tantangan logistik dan anggaran. Meskipun dipisahkan, penyelenggaraan dua pemilu berskala besar dalam rentang waktu yang berdekatan tetap akan menguras anggaran negara dan energi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Para analis politik mengingatkan bahwa meskipun niatnya baik, proses ini sarat dengan kepentingan politik menjelang siklus elektoral berikutnya. Muhammad Ichsan Kabullah, pakar hukum sekaligus peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, berpendapat bahwa detail skema yang dipilih akan sangat menentukan peta kekuatan politik nasional dan lokal.
“Secara garis besar putusan ini membawa angin segar bagi demokrasi di Indonesia,” ujarnya. “Jeda waktu pemilu nasional dengan daerah bisa menjadi pertimbangan tersendiri bagi masyarakat menentukan sosok yang tepat untuk memimpin daerah selama lima tahun ke depan.”
Ichsan juga menekankan bahwa pemisahan ini akan mengurangi dominasi coattail effect atau efek ekor jas dari pemilu presiden terhadap pilkada. “Tidak bisa kita pungkiri ketika pemilu dilakukan serentak, maka atensi orang lebih banyak tertuju ke pemilihan presiden dan wakil presiden,” jelasnya.
Mendukung pandangan tersebut, Andhyka Muttaqin, pengamat politik dan kebijakan dari Universitas Brawijaya, menilai putusan MK ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. “Dengan pemisahan pemilu, isu lokal tidak akan tertutup oleh isu nasional, sebagaimana sering terjadi dalam pemilu serentak. Ini berdampak pada peningkatan kualitas demokrasi lokal,” katanya.
Sementara itu, Dr. Fahri Bachmid, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI), menekankan perlunya constitutional engineering atau rekayasa konstitusional yang serius. “Kita harus masuk pada fase constitutional engineering yang serius,” katanya. “Desain konstitusional harus dirancang sedemikian rupa agar transisi menuju model pemilu baru di 2029 tidak melanggar asas hukum dan prinsip pemerintahan demokratis.”
Fahri menjelaskan bahwa masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 yang seharusnya berakhir pada 2029 harus dikaji ulang. “Kalau pemilu lokalnya baru 2031, maka jabatan anggota DPRD harus diperpanjang dua tahun. Ini merupakan legal policy yang related dan reliable, serta dapat dibenarkan secara konstitusional,” terangnya.
Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mengatakan langkah yang perlu dilakukan untuk menindaklanjuti putusan ini bukan sekedar mengatur jadwal pemilu. “Misal jadwal pemilu, UU Pemilu dan Pilkada, UU Pemerintah Daerah karena berkaitan dengan pengisian jabatan publik,” katanya.
Menurut Zainal, putusan ini memberi nafas panjang bagi partai politik untuk menghadapi pemilu, namun dampaknya terancam tidak signifikan karena partai politik yang ada di Indonesia bersifat kartel sehingga jarang terjadi pertarungan ide dan gagasan.
Kini, bola panas berada di tangan pemerintah dan DPR. Pembahasan awal ini diperkirakan akan menjadi salah satu agenda legislasi paling penting dalam beberapa tahun ke depan, yang hasilnya tidak hanya akan mendefinisikan ulang kalender politik Indonesia, tetapi juga masa depan stabilitas dan kualitas demokrasinya.
Putusan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini memerlukan revisi komprehensif terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada. Herdiansyah Hamzah, dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman, menilai bahwa langkah MK bertindak sebagai legislator positif dapat dibenarkan karena DPR dan pemerintah tidak kunjung memperbaiki sistem pemilu.
“Kalau peraturan hanya didesain untuk kepentingan elite politik, bukan kepentingan warga negara, ya mau tidak mau, suka tidak suka, MK akan mengevaluasi kebijakan itu dan melahirkan norma baru,” ucap Herdiansyah.
Meski menuai pujian dari kalangan akademisi, putusan MK ini juga mendapat penolakan dan kritikan dari Partai NasDem dan PKS yang menilai putusan tersebut berpotensi melanggar UUD 1945 dan melampaui kewenangan MK. Namun demikian, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dipatuhi oleh semua pihak.
Artikel ini disusun melalui kajian pustaka terhadap dokumen resmi dan/atau laporan media bereputasi, serta verifikasi silang antarsumber tertulis.
(@pt)
Discussion about this post