Gambar: Laporan “The Indigenous World 2025” menampilkan seorang perempuan adat sedang berorasi dalam sebuah aksi damai di tengah hujan, membawa pesan kuat tentang perjuangan masyarakat adat. (Foto: iwgia.org)
PARIS (Utusan Rakyat) – Sebuah koalisi pakar adat meluncurkan dokumen rekomendasi yang mendesak UNESCO merevisi kriteria Outstanding Universal Value (OUV) agar UNESCO mengakui dan memasukkan nilai budaya masyarakat adat, bukan semata atribut “alam” yang selama ini mendominasi penilaian situs Warisan Dunia.
Dokumen yang dirilis koalisi pakar adat – Outcome Document Geneva Expert Workshop (IIPFWH, April 2024) berisi tujuh butir reformasi kriteria Outstanding Universal Value (OUV), dimana menurut laporan The Indigenous World 2025 sudah rampung pada awal Mei 2024, tetapi belum diserahkan ke UNESCO maupun dipublikasikan saat itu.
Laporan bertajuk The Indigenous World 2025 dari International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) itu menyoroti fakta bahwa banyak situs berada di tanah adat tetapi diklasifikasikan sebagai “natural sites” tanpa mengakui relasi spiritual, ekonomi, dan historis komunitas lokal. “Bagi masyarakat adat, nilai budaya dan alam tidak terpisah,” tulis José Francisco Calí Tzay, Pelapor Khusus PBB, sembari menyebut pembedaan keduanya sebagai “sangat problematik”.
Sejak Konvensi Warisan Dunia diadopsi pada 1972, 196 negara telah meratifikasinya, menjadikannya salah satu traktat multilateral paling luas di dunia. Namun, ketentuan OUV dinilai masih euro-sentris: alam diposisikan universal, budaya adat dianggap lokal dan kurang relevan pada tingkat dunia, sehingga terpinggirkan dalam nominasi dan tata kelola.
Rekomendasi kunci yang diajukan:
– Menafsirkan ulang OUV agar memuat perspektif adat secara konsisten.
– Merevisi kriteria “alam” supaya menghapus dikotomi alam dan budaya.
– Mengadopsi pendekatan berbasis hak asasi, termasuk hak atas free, prior and informed consent (FPIC) dalam seluruh proses nominasi.
– Mewajibkan partisipasi langsung masyarakat adat di setiap tahap pengelolaan situs.
– Membentuk mekanisme pengaduan independen di tingkat UNESCO/WHC.
Reformasi ini akan dibahas pada Sidang ke-46 Komite Warisan Dunia di India Juli mendatang, setelah dokumen hasil lokakarya ahli di Jenewa resmi diserahkan ke sekretariat komite.
Konvergensi Isu Iklim dan Kebencanaan
Tema Hari Warisan Dunia tahun ini “Warisan Tangguh Bencana dan Konflik: Kesiapsiagaan, Respons, dan Pemulihan” ikut menekankan urgensi melindungi situs dari kerentanan iklim sekaligus memastikan hak komunitas penjaganya. Pemerintah Indonesia, dalam pesannya pada peringatan 18 April 2025, menegaskan komitmen memperkuat perlindungan situs nasional bersama pemerintah daerah dan masyarakat.
Dampak bagi Indonesia
Empat dari sepuluh situs Warisan Dunia di Indonesia, dari Taman Nasional Komodo hingga Lanskap Subak di Bali – berada di kawasan yang ditinggali atau dikelola masyarakat adat. Revisi kriteria OUV dapat membuka ruang pengakuan lebih luas atas sistem pengetahuan lokal, seperti filosofi Tri Hita Karana di Bali, yang kini hanya disebut sebagai “faktor pendukung” dalam dokumen nominasi. Jika OUV diubah, narasi situs akan bergeser, bukan lagi pemandangan eksotis, melainkan cerminan hubungan timbal balik manusia dan alam.
Langkah Selanjutnya
Diplomat dari negara-negara Pasifik, Amerika Latin, dan Skandinavia sudah menyatakan dukungan parsial terhadap rekomendasi tersebut. Namun sebagian delegasi Afrika dan Timur Tengah meminta kejelasan bagaimana revisi OUV akan memengaruhi status situs yang telah terdaftar.
Apabila Komite sepakat membuka proses amendemen, UNESCO akan memulai konsultasi publik multi-tahun sebelum kriteria baru berlaku. Bagi masyarakat adat, proses ini bukan sekadar revisi teknis, melainkan koreksi sejarah setengah abad pengelolaan warisan yang memisahkan alam dari budaya mereka. (@pt)
Discussion about this post